Pages

Selasa, 14 Oktober 2014

Esensi Hati yang Terluka...


Berada pada situasi yang nampaknya sudah tidak aman lagi. Bahkan untuk sedikit menoleh dan mengedipkan mata pun tak kuasa. Hanya turun naik rongga dada saja sebagai efek dari bernapas yang masih bisa bebas bergerak. Mungkin ini adalah pengandaian yang berlebihan, namun sebenarnya tidak berlebihan sama sekali. Keadaan yang sebenarnya jauh lebih mengerikan dari pengandaian ini. Kondisi nyata lebih mempersempit ruang gerak, karena ini berhubungan dengan kebebasan hati. Terlalu klasik jika berbicara tentang hati? Tidak juga, siapa pun manusia di muka bumi ini tidak bisa menafikkan keberadaan hati sebagai pusat koordinasi keseluruhan raga. Pengatur etika, attitude dan estetika. Hati yang menggerakkan perbuatan yang baik atau buruk. Hati yang mempunyai kendali atas amarah, benci, kasih sayang dan cinta. Menggenngam dan melepas penat, penyimpan rahasia nomor satu di dunia. Hati adalah organ paling jujur sejagat raya, hanya hati yang tak  pernah berdusta, walaupun terkadang ia tidak bisa berkata-kata, sejujurnya ia meronta ketika kata-katanya di sampaikan dengan tidak benar oleh lisan yang lancang. Itulah hati.

Sekarang yang menjadi sumber masalahnya adalah ketika hati berbicara tentang kejujuran yang ia punya, tentang rahasia yang ia pendam atas permintaan manusia, namun setelah diungkapkan kebenarannya ternyata hanya tekanan dan caci maki yang ia dapat, tidak kah itu terlalu jahat untuknya? Apakah semahal itu harga yang harus ia bayar atas kejujuran dan rahasia yang ia miliki? Lagi-lagi ia mungkin bisa bersabar menerima itu, mungkin ia akan tetap membayar mahalnya kejujuran yang ia ungkapkan. Tapi apakah sudah lunas dan tuntas perkara yang dialami sang hati? Seharusnya sudah, seharusnya ia sudah bebas dan menghirup aroma baru yang segar, mengumpulkan kembali puing-puing rahasia yang bertebaran di alam yang akan disusunnya kembali sebagai setumpuk rahasia indah yang akan ia pendam kembali untuk dirinya sendiri. Iya, seharusnya demikian, tapi kenyataan tidak demikian. Ia dituntut untuk berbohong di depan khalayak ramai demi eksistensi kaum mayoritas agar tetap terjaga imagenya. Setelah ia mengungkap kebenaran dan fakta yang didesak oleh manusia, ia dituntut untuk berbohong, menyembunyikan dan memendam kembali kebenaran itu sedalm-dalamnya, karena apa yang diungkapkannya akan merugikan kaum mayoritas. Hal ini sukses membuat hati bertanya-tanya tentang keberadaannya bagi mereka, apakah hanya sebagai alat pelampiasan amarah yang bisa diperlakukan seenaknya? Dituntut sangsi berat atas kejujurannya yang menyakitkan? Dipaksa berbohong lagi demi nama baik? Oh, sungguh sudah mati kebebasan itu. Kebebasan mengungkapkan kebenaran. Ternyata kehidupan nyata lebih keras dan kejam dibandingkan kehidupan dunia politik.

Akhirnya sang hati harus kembali merajut benang-benang untuk menjahit sendiri sobekan-sobekan luka yang tak beraturan di tubuhnya, menjahitnya agar kembali tertutup walaupun tidak bisa utuh dan mulus seperti biasanya. Akan ada cacat di sana-sini akibat kurang sempurnanya jahitan luka, atau mungkin karena lukanya terlalu lebar dan dalam. Entahlah, yang jelas luka itu akan membekas walaupun hanya segaris. Hati sudah tidak peduli lagi tentang nasibnya nanti akan seperti apa, yang jelas ia akan terus hidup demi jiwa yang menaungi keberadaannya yang tepat berada di rongga perut sebelah kanan di bawah diafragma manusia. Terlalu sayang ia kepada manusia yang menaunginya, ia akan kembali melaksanakan rutinitasnya sebagai penyimpan rahasia ulung di seluruh jagat, dan pemegang kejujuran paling jujur di dunia. Ia akan terus berusaha menghibur sang pemiliknya agar tetap bangkit walaupun sangat sulit, sangat berat. Hati selalu meminta kepada Zat yang telah menciptakannya, yang telah menitipkannya pada raga manusia agar tetap tegar sampai nanti saat ia sudah harus berhenti melaksanakan tugasnya, sampai tempat yang menaunginya sudah tidak bernyawa lagi, maka penderitaan dan tugasnya pun akan berakhir.

0 komentar:

Posting Komentar