Pages

Jumat, 10 Oktober 2014

Adegan Romantis di Pagi Hari

Embun di pagi hari itu hanya sementara. Sementara untuk menyejukkan pagi, tak akan lama, ia pun akan segera menghilang seiring munculnya sang mentari dari balik peraduannya. Perlahan embun menguap dan menghilang, tidak jarang pula ada yang jatuh ke tanah karena dahan yang rapuh atau mungkin tepian daun yang tak sanggup menahannya. Daun yang selalu disinggahi embun tak kuasa menahannya untuk tidak pergi. Hanya berharap besok masih bisa disinggahi embun sang penyejuk.

Menakjubkan. Hanya satu kata itu yang dapat aku ucapkan melihat adegan itu setiap pagi. Aku bukan orang yang romantis atau puitis, tetapi merasa romantis melihat adegan ini. Ada janji tersirat yang tak terucap di antara daun dan embun. Janji untuk setia menanti dan janji untuk segera kembali. Janji memegang teguh kesetian selama bumi berotasi, selama siang memanjang dan malam memayungi, hingga kembali bertemu di pagi hari. Romantis sekali, pertemuan sekejap secara sembunyi-sembunyi dari sang mentari, bertegur sapa sesaat, bergurau sambil berpadu menyejukkan pagi. Berbisik dengan bahasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh kamus atau mesin penterjemah manapun, bahasa isyarat yang disampaikan oleh bisikan angin. Di penghujung pisah, janji itu terikrar kembali, meskipun dalam sunyi, tanpa terucap hanya tersirat, tapi tak ada yang berkhianat.

Lamunanku melayang jauh ke masa lalu, melewati jutaan detik yang telah berlalu, menyinggahi hari-hari penuh tawa dan air mata, mengulang lukisan senyuman-senyuman pembangkit semangat. Ini semacam berlayar mengarungi berbagai fase di masa itu, dan berlabuh di sana, di tempat aku dan kamu. Di tempat titik temu pandanganku dan pandanganmu.

Aneh, semestinya aku bisa seperti daun yang bisa ikhlas melepas sang embun pergi karena keberadaannya hanya sementara. Harusnya aku bisa seperti daun, yang bisa sabar menanti sang embun di esok hari, menantinya menepati janji untuk datang kembali atas nama kesejukkan. Harusnya aku bisa seperti daun, yang tidak pernah marah ketika terik mentari pagi merenggut sang embun darinya, atau sepoi angin yang menggoyangkan dahan sehingga embun meleset dan jatuh ke tanah. Harusnya aku bisa seperti daun, yang tetap tegar, bahkan bisa tetap berfotosintesis demi bagian tubuh yang lain, demi organisme yang lainnya. Harusnya aku bisa seperti daun.

Ahhh, aku ternyata tidak setegar helaian daun. Aku terlalu lemah dan cengeng. Aku menagis pilu ketika dia perlahan pergi. Aku terlalu egois karena menyalahkan keadaan atas kepergiannya. Aku terpuruk tak berdaya di sudut ruang hampa, tanpa celah, tanpa pintu dan jendela, gelap dan hanya ditemani sinar redup dari mata yang mulai membengkak akibat deraian air mata. Aku tak berbentuk saat dia pergi.

Aku kalah dengan helaian daun, walaupun sejatinya aku lebih sempurna darinya. Sempurna karena aku memiliki hati yang penuh dengan cinta. Cinta yang luar biasa untuk dia.

Daun kalah denganku pada perkara rindu, karena aku banyak menyimpan potongan-potongan rindu untuk dia yang akan aku berikan padanya saat aku menjumpainya, tepat saat aku menatap matanya. Untuk urusan sayang, sekali lagi aku menang dari helaian daun, karena rasa sayangku kepadanya melebihi sayangnya daun kepada sang embun. Seperti sayangnya mentari kepada semua makhluk bumi. Walaupun kadang terik neraka menyengat, namun ada kalanya menghangatkan. Iya, hanya menghangatkan dan tidak membakar. Menghangatkan hati-hati yang dingin tanpa cinta.

0 komentar:

Posting Komentar