Pages

Minggu, 06 November 2016

Kita tidak saling kenal

"Aku marah, aku kesal, aku ingin meneriakimu dengan cacian paling racun yang aku punya, aku benar-benar marah. Demi apa, aku sangat marah padamu"

Lega. Hanya kata itu yang bisa mewakili perasaanku setelah aku mengeluarkan sesak di dadaku ini tentangmu.

Aku lelah, kamu juga. Aku tersiksa, kamu juga. Aku putuskan untuk mengakhiri cinta yang tak berlogika ini. Walaupun hati enggan, tapi keadaan sudah dengan sengaja memaksa untuk mengakhiri segala macam bentuk rasa.

Sudah, pergi saja ke mana pun kamu suka. Ke puncak gunung, ke bawah laut, ke luar angkasa, atau ke mana saja tempat yang menurutmu aman dariku. Hapus aku di segala memorimu, memori otak, telpon genggammu, di diary birumu, di sudut-sudut kenanganmu, di semua ingatanmu, bahkan sekedat caraku tersenyum. Jangan diingat lagi.

Sekarang hanya tinggal aku dan dirimu yang saling memunggungi. Kemudian berjalan saling menjauh, bersepakat untuk tidak saling menoleh lagi, hingga nanti sama-sama menghilang tanpa mengucapkan salam perpisahan. Semudah itu untuk kita tak saling kenal, tak saling ingat, dan tak saling cinta. Tidak usah ada lagi kata rindu dalam bentuk apapun. Tidak ada yang layak lagi untuk kita rindukan dari kita yang dulu.

Kita pernah saling menyinta, tapi bukan berarti kita boleh untuk saling membenci. Mungkin menganggap kita tidak pernah saling kenal, lebih manusiawi ketimbang kita saling membenci. Iya, anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Tidak akan ada rasa cinta pada dua orang yang tidak saling kenal.

Selamat pagi. Kita tidak saling mengenal.

Rabu, 02 November 2016

November, Aku bertanya...

"Apakah cinta adalah sebuah gengsi? Yang akan terasa sangat membanggakan jika mendapatkan dia yang selalu didamba? Apakah cinta adalah simbol keangkuhan nafsu? Yang akan terasa sangat memuaskan jika memiliki dia yang sangat dicintai oleh orang lain?"

Dalam ramai atau sepiku, sering kali pertanyaan itu muncul. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tau untuk siapa, siapa yang berhak menjawab, siapa yang berhak berkomentar. Atau hanya pertanyaan dalam hati yang jawabannya bisa dijawab nanti-nanti, atau bahkan tidak akan pernah terjawab sampai nanti, sampai mati. Jika pertanyaan ini aku tujukan padamu, bisakah kamu menjawabnya dengan tepat tanpa harus bertanya ke mesin pencari google? Apakah itu pertanyaan yang rumit? Aku rasa tidak. Tapi, layaknya ujian nasional atau tes masuk perguruan tinggi, pasti ada saja soal yang ragu-ragu untuk menjawabnya. Mungkin ini adalah salah satu contoh soal yang ragu-ragu. Aku ragu-ragu pula untuk menanyakan ini padanya.

Jika memang memilikiku hanya sebuah gengsi, semestinya aku adalah gengsi yang mewah dan berkelas. Yang layak dijadikan seperti puteri raja. Namun jika aku hanya simbol keangkuhan atas nama pemenang dari dia yang mencintaiku, pantaslah aku hanya sebagai pajangan etalase. Apa aku berhak mengajukan interupsi? Tidak, aku rasa tidak.

Aku hanya menginginkan orang yang benar-benar menginginkanku. Benar-benar takut kehilanganku. Orang yang bisa memahami aku. Mungkin terlalu manja ketika aku menginginkan semua orang memanjakanku, mengerti aku. Tapi aku rasa itu wajar saja untuk seseorang yang rela melepaskan segala keinginan dan harapnya hanya demi bersamamu.

Apakah secara umum semua memang melalui fase seperti ini? Berada pada fase "apapun yang terjadi, tho kamu sudah menjadi milikku"

Selasa, 16 Agustus 2016

Pernyataan Pertanyaan

Jika air tidak ditakdirkan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, mungkin air terjun Niagara akan berhamburan ke arah mana saja yg ia suka, tanpa pernah menghiraukan aturan alam. Bebas, menuju ke arah mana saja yang ia kehendaki.

Berbicara tentang keadaanku, keinginanku mungkin tak banyak, hanya ingin kenyamanan. Egois sekali jika aku hanya menginginkan diriku dalam kenyamanan. Sementara yang lainnya, telah aku buat hidupnya tak nyaman, persaannya tak nyaman, bahkan hanya untuk sekedar main game di gadget pun tak nyaman karenaku. Itulah aku, manusia tak tau diri dan penuh keegoisan. Aku hanya memikirkan diriku dan kenyamananku. Aku salah? Bagaimana menurutmu?

Aku sudah lelah berada pada titik diam atau yang sengaja mendiam pada apa-apa yang tak ku suka. Termasuk keadaan seperti ini, keadaan yang memaksaku untuk tetap diam. Bagaimana ini? Aku harus diam, padahal aku sudah lelah diam. Iya, aku memang harus diam. Ketika suaraku kalah dengan hingar bingar suara lainnya, tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam.

Mungkin menangis akan sedikit melegakan hati, tapi tak bisa membuatku bernapas bebas. Bahkan mataku tidak bisa berbohong ketika menangis. Siapa yang peduli? Tidak ada. Tidak ada yang peduli dengan apa yang aku rasa. Jika pun aku bersuara lagi, itu akan menambah predikatku sebagai wanita egois, serakah dan congkak. Makin nista saja kasta ku di mata mereka, bahkan di matamu.

Kepada siapa aku harus bicara? Jika lawan bicaraku saja sudah tidak mengerti bahasaku. Hei, aku masih makhluk bumi, aku masih berbicara dengan bahasa manusia, tidak ada kah yang bisa mengerti tentang aku? Seseorang yang aku percaya mampu menjadikanku baik.

Adalah benar jika aku memang tidak benar-benar diinginkan. Mungkin aku memang bukan orang baik, sampai kapan pun tetap menjadi orang yang tidak baik.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Itu Bukan Urusanku

Sungguh itu bukan urusanku.
Aku katakan kepadamu. Hidupmu, bahagiamu, kegiatanmu, bahkan perasaanmu. Itu bukan urusanku.

Sungguh itu bukan urusanku.
Aku perjelas kepadamu. Air matamu, senyum khasmu, tawa bahagiamu, gurat bingung di dahimu. Itu semua bukan urusanku.

Sungguh itu bukan urusanku.
Aku tegaskan kepadamu. Kemanapun kamu akan pergi, bersama siapapun, melakukan hal apapun, dan berapa lama pun. Itu juga bukan urusanku.

Aku beritahu satu hal kepadamu.
Aku pernah ada di hatimu. Kamu terekam jelas di hatiku, dan aku mencintaimu dengan sangat. Kemudian aku mengkhianatimu dengan jahat dan biadab.
Itulah yang menjadi urusanku.

Sungguh itu yang menjadi urusanku.
Aku isyaratkan kepadamu dari ujung jarak yang teramat jauh. Itulah yang menjadi urusanku. Yang tidak pernah bisa aku selesaikan.