Pages

Rabu, 10 Juli 2013

Cinta Cinderella Jadi-jadian

“Kalau begitu, biar aku yang pergi”

Pernyataan itu seperti halilintar yang menyambar di siang hari. Membuat rongga dada Kalyla penuh sesak dengan gas karbondioksida. Matanya yang sipit mendadak berkaca-kaca, suaranya tercekat samar dikerongkongan.

“Maksud  kamu apa??” dengan susah payah Kalyla menepis sesak yang menghujamnya dan berkata-kata pada sosok pria yang duduk dihadapannya.

“Lyla...kamu dengerin aku ya..bukannya dulu kita udah pernah membahas ini semua, dan kita udah sepakat akan menjalani kenyataan yang terburuk sekalipun” suara lelaki itu pun mulai mengecil.

“Tapi Yan...apa harus secepat ini??aku......” tangis Kalyla pecah. Ia tak bisa melanjutkan kaimatnya. Hanya menunduk memandangi sepasang sepatu ketsnya. Tak kuasa memandang lawan bicaranya. Riyan yang sedari tadi terlihat tenang dan santai, menatap kosong ke kaleng soft drink yang di genggamnya. Ia pun tak kuasa menatap gadis yang selama ini ia cintai, bahkan untuk sekedar mengusap butiran bening di sudut mata sipit Kalyla pun tangannya tak bisa.

“Cepat atau lambat juga memang harus begini kan??sama-sama sakit juga kan??lebih baik sekarang. kamu dan aku....” kalimat Riyan terhenti, aura tenang Riyan mulai berubah, tatapan matanya tak lagi fokus pada satu objek, gusar mengalihkan pandangan ke berbagai objek di sekelilingnya, apa lagi kalau bukan untuk menahan butiran bening yang sedari tadi juga menyesakkannya. Mencoba tegar di hadapan Kalyla bukan sesuatu yang mudah bagi Riyan. Hatinya tak akan pernah sanggup melihat gadis yang dicintainya terus menerus tersiksa mempertahankan ia. Beberapa waktu mereka lalui dengan hening, semua masih berkutat menata ulang suasana hati masing-masing. Suara Barry Manilow dengan lagu Can’t smile without you bersenandung di kafe itu.