“Kalau begitu, biar aku yang pergi”
Pernyataan itu seperti halilintar yang menyambar di siang
hari. Membuat rongga dada Kalyla penuh sesak dengan gas karbondioksida. Matanya
yang sipit mendadak berkaca-kaca, suaranya tercekat samar dikerongkongan.
“Maksud kamu apa??”
dengan susah payah Kalyla menepis sesak yang menghujamnya dan berkata-kata pada
sosok pria yang duduk dihadapannya.
“Lyla...kamu dengerin aku ya..bukannya dulu kita udah pernah
membahas ini semua, dan kita udah sepakat akan menjalani kenyataan yang
terburuk sekalipun” suara lelaki itu pun mulai mengecil.
“Tapi Yan...apa harus secepat ini??aku......” tangis Kalyla
pecah. Ia tak bisa melanjutkan kaimatnya. Hanya menunduk memandangi sepasang
sepatu ketsnya. Tak kuasa memandang lawan bicaranya. Riyan yang sedari tadi terlihat
tenang dan santai, menatap kosong ke kaleng soft
drink yang di genggamnya. Ia pun tak kuasa menatap gadis yang selama ini ia
cintai, bahkan untuk sekedar mengusap butiran bening di sudut mata sipit Kalyla
pun tangannya tak bisa.
“Cepat atau lambat juga memang harus begini kan??sama-sama
sakit juga kan??lebih baik sekarang. kamu dan aku....” kalimat Riyan terhenti,
aura tenang Riyan mulai berubah, tatapan matanya tak lagi fokus pada satu
objek, gusar mengalihkan pandangan ke berbagai objek di sekelilingnya, apa lagi
kalau bukan untuk menahan butiran bening yang sedari tadi juga menyesakkannya.
Mencoba tegar di hadapan Kalyla bukan sesuatu yang mudah bagi Riyan. Hatinya
tak akan pernah sanggup melihat gadis yang dicintainya terus menerus tersiksa
mempertahankan ia. Beberapa waktu mereka lalui dengan hening, semua masih
berkutat menata ulang suasana hati masing-masing. Suara Barry Manilow dengan
lagu Can’t smile without you
bersenandung di kafe itu.