Pages

Kamis, 12 Februari 2015

Semoga Kamu Mengerti

Dear You

Sore hujan di tengah padamnya listrik. Begitu berkecamuk perasaanku sekarang. Antara kesal, marah, sedih, kesepian sampai bosan. Aku rasa sangat cocok dengan keadaan cuaca saat ini, tak menentu; sebentar hujan, menyusul panas kemudian, terang benderang, mendadak gelap selanjutnya. Kepada kamu, aku merasa sangat kesal.

Aku akui bahwa aku sangat merindukanmu. Namun perlahan terkikis oleh semua sikapmu yang-ku rasa-sekarang-mulai-mengabaikanku. Entahlah, mungkin karena jarak dan waktu yang membentang antara aku dan kamu. Bisa saja membuat kita jenuh dengan keadaan yang semacam ini. Aku, kamu tidak tau bagaimana keadaanku sekarang, kan? Lebih buruk dari apa yang kita perkirakan dulu. Sudah kubilang, menempatkanku pada posisi seperti kemarin bukanlah hal yang baik untukku. Kamu tetap memaksa, demi kebaikanku, katamu. Nyatanya sekarang, aku tersiksa, dan itu tanpa kamu menemaniku.

Apalah artinya hanya sapaan dari jauh, via telepon, sms, bbm, whatsapp, email, atau apapun itu. Kenyataannya aku tidak benar-benar tau kesibukanmu, pun juga sebaliknya. Bisa saja aku membohongimu, aku bilang aku sudah duduk manis di depan televisi menonton drama korea kesukaanku, padahal mungkin aku sedang berjalan-jalan dan bersenang-senang dengan temanku. Kamu juga begitu, bisa saja kamu bilang sibuk dengan pekerjaanmu, iya, mungkin sibuk, sibuk dengan yang lainnya. Aku juga tidak tau. Tapi aku selalui percaya, cintamu padaku tidak akan terbagi dengan wanita lain, aku percaya. Namun bagaimana dengan waktumu? Sekarang kamu sudah membaginya dengan yang lain. Sehingga tidak ada lagi waktu untukku.

Maaf berharap lebih atas waktumu yang sangat mahal itu. Kelak jika aku tidak dapat menemuimu lagi, aku minta maaf. Tidak ada pilihan lagi, aku harus kembali menjalani rutinitasku yang lebih pantas kusebut, takdirku. Entahlah, masihkah aku merasa sangat membutuhkanmu ditiap waktuku? Atau keberadaanmu hanya sebagai isyarat bahwa masih ada kamu dihatiku. Jangan membuatku terbiasa dengan ketiadaan dirimu. Sungguh benar aku mencintaimu, sungguh nyata aku merindukanmu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenangkan waktumu. Karena yang berharga sekarang adalah waktumu, bukan perasaanku.

Di sini, hujan mulai turun dengan derasnya. Setidaknya suara jatuhnya yang berjamaah itu menemani soreku disaat aku kesepian, rasa marah dan kesalku berangsur-angsur mereda olehnya. Iya, oleh hujan, bukan olehmu. Sepertinya lagu yang dulu aku nyanyikan untukmu sudah tidak bermakna lagi. Hanya sebuah lagu konyol yang kupikir bisa mewakili perasaanku padamu. Kalau dulu, iya. Aku akui bahwa lagu itu memang untukmu, tidak pernah aku menyesal mendendangkannya untukmu, meskipun dengan petikan gitar seadannya, dengan ujung-ujung jari yang memerah bahkan terkelupas. Tapi sekarang hanya lagu pengantar tidur yang terasa menghujam tiap kali teringat padamu. Musnah, aku tidak menyukainya lagi.

Ini bukan tulisan amarah penuh kebencian padamu, hanya ungkapan perasaanku yang kupendam selama ini. Aku tidak bisa mengatakannya langsung kepadamu. Jika itu aku lakukan, aku hanya menambah tekanan yang lebih berat di dalam dada, membuatnya sesak dan berakhir pada tumpahan air mata. Aku sudah tidak mau menangis lagi karenamu, sudah banyak air mataku yang terkuras karenamu. Terutama karena menahan rindu padamu. Maaf, aku tidak mau menangis lagi. Kalaupun rindu ini tidak akan berujung, aku akan mencoba tegar tanpa air mata.

Satu hal yang perlu kamu tau, aku sekarang sudah jauh lebih keras kepala dari yang kamu tau dulu. Tekanan yang bertubi-tubi datang padaku membuatku harus bertahan. Jika aku lemah, maka aku akan musnah bagai debu yang ditiup oleh angin. Sikapmu yang seolah tidak mempedulikanku atau mungkin terpaksa mengabaikanku karena keadaanmu, tidak sebanding dengan benturan-benturan yang aku alami selama ini. Jangan khawatirkan keadaanku. Jika memang aku harus terbiasa tanpamu, aku akan mencobanya.

Nanti saja kamu pulang, kalau waktumu sudah bisa kubeli. Di sini aku akan mengumpulkan bekal yang cukup untuk menebus dan membeli waktumu yang harganya sangat mahal itu. Jika aku sudah berhasil nanti, aku tidak mau mendengar penolakanmu untuk pulang, walaupun aku tidak tau kapan waktu itu akan tiba. Aku tidak ingin berdebat denganmu perkara waktu. Sudah kupastikan aku tidak mau mengalah, dan kamu tak akan pernah kalah. Lebih baik jangan pernah membahas tentang waktu. Biarkan saja dia berjalan sesuai perintah tuhannya. Kamu dan aku tidak perlu mengusiknya. Lanjutkan hidupmu dengan segala rutinitasmu, sementara aku di sini akan menjalani takdirku sendiri.

Tetap jaga kesehatanmu di sana, di tengah cuaca tak menentu seperti sekarang. Karena aku tidak bisa menjagamu dari jauh. Aku tidak akan mengganggu waktumu, maafkan jika aku terlihat tidak mengerti keadaanmu, sungguh aku sudah coba untuk mengerti. Tapi aku tidak bisa menahan rasa sesak yang ada di dadaku. Maafkan ketidaknyamanan ini, aku memberikan waktu untuk kita merenungi ini bersama, perkara waktu. Kamu dan aku membutuhkan waktu untuk sendiri, agar menyadari bahwa waktu kita lebih penting.

Aku yang tak pernah ada waktu untuk mengerti kamu...:(

Jumat, 09 Januari 2015

Egois

Kadang cinta membuatku selalu menuntutmu untuk selalu memahamiku, aku hanya tidak ingin diabaikan olehmu, sudah cukup lama aku merasa terabaikan, tak dibutuhkan. Lebih tepatnya, aku tidak ingin kehilangan perhatian dan pengertianmu walau hanya seujung kuku atau sekilas pandangan...



Egois, iya, egois memang, tapi itulah aku. Aku tidak pernah mau mengalah dalam perkara hati dan kebebasan..



Aku ingin seperti elang yang bisa terbang bebas ke manapun aku suka, tapi aku juga ingin seperti cenderawasih, yang indah dan dilindungi. Terlalu banyak mauku, aku harap kamu tau.



Sebuah kemustahilan bagiku untuk mengalah, karena aku terlahir sebagai antagonis yang egois.